#IndonesiaTolakTakfiri - Dunia Islam dalam beberapa bulan terakhir melewati saat-saat yang sulit dan menentukan. Dari satu sisi, gerakan Kebangkitan Islam di negara-negara yang diperintahkan oleh diktator di Afrika Utara dan Timur Tengah telah mengancam kepentingan ilegal kekuatan hegemonik dan arogan dunia. Di sisi lain, gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menciptakan perpecahan dan konflik sektarian di tengah umat semakin agresif melancarkan operasi mereka di kawasan. Kelompok Takfiri dan Salafi mendapat dukungan luas dari pemerintah-pemerintah Barat dan raja-raja Arab untuk menjalankan misi mereka.
Suriah saat ini telah menjadi medan untuk menyulut perang saudara di antara umat Islam. Barat dan sekutu regional mereka setelah sekian lama bahu-membahu untuk menggulingkan pemerintahan sah Suriah, kini mereka berupaya menciptakan sebuah perang sipil di negara itu dengan memanfaatkan jasa kelompok-kelompok Takfiri dan Salafi. Apa yang disebut sebagai konflik Sunni-Syiah di kawasan Timur Tengah, pada dasarnya bukan pertikaian di antara kedua kelompok tersebut, karena mereka telah hidup berdampingan dan damai selama bertahun-tahun dan tidak pernah saling membantai. Tentu saja, perbedaan mazhab selalu ada, tapi hal itu berhasil dikelola dengan baik.
Fakta yang sedang terjadi di wilayah ini adalah perluasan faham Wahabisme dan pemikiran dan perilaku Takfiri. Kelompok tersebut menganggap kafir dan menghalalkan darah semua pengikut aliran kepercayaan yang tidak sepaham dengan mereka. Perilaku kelompok Takfiri telah menyulut fanatisme buta dan ekstrimisme di tengah masyarakat Sunni. Sikap yang mengelabui opini publik ini membuat gerak langkah ulama-ulama moderat dan toleran semakin sempit. Amerika Serikat dan raja-raja Arab menentang Revolusi Islam di Iran yang menyerukan independensi dan perang melawan despotisme lokal dan imperialisme asing.
Revolusi Islam adalah bukan sebuah kebangkitan Syiah, tapi sebuah gerakan yang membawa pesan-pesan keadilan dan kebebasan, tidak hanya untuk Muslim, tapi untuk seluruh umat manusia. Kemenangan Revolusi Islam Iran telah mengguncang kawasan dan memberi inspirasi kepada kelompok-kelompok pejuang Islam di Timur Tengah. Fenomena ini membuat Barat ketakutan dan pada masa itu Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger menyatakan bahwa jika sebuah negara regional jatuh karena pengaruh Revolusi Islam, maka kasus itu akan menjalar ke negara-negara lain.
Amerika Serikat, pemerintah-pemerintah Barat, dan juga rezim Zionis Israel mulai mencari cara untuk melawan revolusi tersebut dan mencegah penyebarannya keluar dari wilayah Iran. Mereka di samping memberlakukan tekanan politik, ekonomi, dan bahkan memprovokasi Saddam Hussein untuk menyerang Iran, juga melancarkan serangan pemikiran dan budaya untuk mendongkel sistem Republik Islam serta memerangi pemikiran-pemikiran kebebasan yang disuarkan oleh Imam Khomeini ra. Untuk itu, Barat menggelar sejumlah seminar di universitas-universitas Haifa dan Tel Aviv, AS, dan beberapa negara Eropa untuk mengenal dimensi-dimensi ideologis Revolusi Islam Iran.
Barat mulai menemukan bahwa akar pemikiran revolusi tersebut adalah khazanah pemikiran Syiah dan nilai-nilai kebangkitan Karbala. Mereka juga memahami bahwa ada sebuah aliran bernama Wahabi yang mengkafirkan Syiah. Dengan kata lain, Barat khususnya AS bertekad untuk membenturkan Iran dengan Wahabi dan membatasi pengaruh Revolusi Islam. Padahal di Iran sendiri, masalah Sunni-Syiah tidak dipertentangkan, masyarakat Iran hanya menciptakan sebuah revolusi yang mengubah perimbangan regional. Rezim Shah Reza Pahlevi – sebagai sekutu dekat AS dan pendukung Israel – tumbang dan digantikan oleh sebuah pemerintah yang mendukung kaum tertindas di dunia, khususnya rakyat Palestina.
Menurut Barat, pemerintahan ala Imam Khomeini ra harus dicegah dan mereka mulai melancarkan kampanye Syiahphobia dan Iranphobia di negara-negara sekutu AS di Timur Tengah. Kampanye itu fokus pada dua isu yaitu, pertama menyulut perselisihan historis antara Persia dan Arab dan kedua mengangkat konflik Sunni-Syiah. Barat gencar memprovokasi masyarakat Muslim dengan menyatakan bahwa Iran adalah Syiah dan Persia, sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia Arab dan Sunni. Berdasarkan propaganda busuk ini, Iran berniat mensyiahkan Sunni atas nama agama Islam. Padahal, Revolusi Islam merupakan sebuah revolusi budaya dan pesan-pesannya diadopsi dari al-Quran dan ajaran-ajaran Nabi Saw yang menekankan pada perang melawan penindasan, menuntut keadilan, dan membangun persatuan umat.
Ekspor revolusi pada dasarnya juga menyampaikan pesan-pesan tersebut kepada Muslim dan para penuntut keadilan di dunia. Para pemimpin Revolusi Islam tidak berniat memperluas penyebaran Syiah, tapi selalu menyerukan persatuan dan dialog di antara umat Islam. Sejalan dengan itu, sejak awal kemenangan Revolusi Islam, Iran aktif menyelenggarakan berbagai konferensi yang mengundang ulama-ulama Sunni dan Syiah dari berbagai negara di Tehran. Akan tetapi, AS dan sekutu regionalnya senantiasa mendistorsi fakta-fakta Revolusi Islam dan pesan-pesan revolusi. Mereka mengkampanyekan Revolusi Islam sebagai sebuah revolusi Syiah dan berbahaya bagi negara-negara mayoritas berpenduduk Sunni.
Kebijakan AS dan sekutunya untuk memerangi pemikiran dan ideologi Syiah telah memberi nafas baru kepada kelompok Wahabi untuk membuka sekolah-sekolah mereka di Pakistan, Afghanistan, dan kemudian di negara-negara Asia Tengah. Ribuan pelajar Wahabi dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah berhasil didik dan mereka hanya dibekali satu mata pelajaran yaitu membunuh Syiah adalah jalan menuju surga! Ide gila ini pertama kali dilontarkan oleh Zbigniew Brzezinski, penasihat keamanan nasional AS pada masa presiden Jimmy Carter. Ia sendiri berangkat ke Pakistan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut.
Suriah saat ini telah menjadi medan untuk menyulut perang saudara di antara umat Islam. Barat dan sekutu regional mereka setelah sekian lama bahu-membahu untuk menggulingkan pemerintahan sah Suriah, kini mereka berupaya menciptakan sebuah perang sipil di negara itu dengan memanfaatkan jasa kelompok-kelompok Takfiri dan Salafi. Apa yang disebut sebagai konflik Sunni-Syiah di kawasan Timur Tengah, pada dasarnya bukan pertikaian di antara kedua kelompok tersebut, karena mereka telah hidup berdampingan dan damai selama bertahun-tahun dan tidak pernah saling membantai. Tentu saja, perbedaan mazhab selalu ada, tapi hal itu berhasil dikelola dengan baik.
Fakta yang sedang terjadi di wilayah ini adalah perluasan faham Wahabisme dan pemikiran dan perilaku Takfiri. Kelompok tersebut menganggap kafir dan menghalalkan darah semua pengikut aliran kepercayaan yang tidak sepaham dengan mereka. Perilaku kelompok Takfiri telah menyulut fanatisme buta dan ekstrimisme di tengah masyarakat Sunni. Sikap yang mengelabui opini publik ini membuat gerak langkah ulama-ulama moderat dan toleran semakin sempit. Amerika Serikat dan raja-raja Arab menentang Revolusi Islam di Iran yang menyerukan independensi dan perang melawan despotisme lokal dan imperialisme asing.
Revolusi Islam adalah bukan sebuah kebangkitan Syiah, tapi sebuah gerakan yang membawa pesan-pesan keadilan dan kebebasan, tidak hanya untuk Muslim, tapi untuk seluruh umat manusia. Kemenangan Revolusi Islam Iran telah mengguncang kawasan dan memberi inspirasi kepada kelompok-kelompok pejuang Islam di Timur Tengah. Fenomena ini membuat Barat ketakutan dan pada masa itu Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger menyatakan bahwa jika sebuah negara regional jatuh karena pengaruh Revolusi Islam, maka kasus itu akan menjalar ke negara-negara lain.
Amerika Serikat, pemerintah-pemerintah Barat, dan juga rezim Zionis Israel mulai mencari cara untuk melawan revolusi tersebut dan mencegah penyebarannya keluar dari wilayah Iran. Mereka di samping memberlakukan tekanan politik, ekonomi, dan bahkan memprovokasi Saddam Hussein untuk menyerang Iran, juga melancarkan serangan pemikiran dan budaya untuk mendongkel sistem Republik Islam serta memerangi pemikiran-pemikiran kebebasan yang disuarkan oleh Imam Khomeini ra. Untuk itu, Barat menggelar sejumlah seminar di universitas-universitas Haifa dan Tel Aviv, AS, dan beberapa negara Eropa untuk mengenal dimensi-dimensi ideologis Revolusi Islam Iran.
Barat mulai menemukan bahwa akar pemikiran revolusi tersebut adalah khazanah pemikiran Syiah dan nilai-nilai kebangkitan Karbala. Mereka juga memahami bahwa ada sebuah aliran bernama Wahabi yang mengkafirkan Syiah. Dengan kata lain, Barat khususnya AS bertekad untuk membenturkan Iran dengan Wahabi dan membatasi pengaruh Revolusi Islam. Padahal di Iran sendiri, masalah Sunni-Syiah tidak dipertentangkan, masyarakat Iran hanya menciptakan sebuah revolusi yang mengubah perimbangan regional. Rezim Shah Reza Pahlevi – sebagai sekutu dekat AS dan pendukung Israel – tumbang dan digantikan oleh sebuah pemerintah yang mendukung kaum tertindas di dunia, khususnya rakyat Palestina.
Menurut Barat, pemerintahan ala Imam Khomeini ra harus dicegah dan mereka mulai melancarkan kampanye Syiahphobia dan Iranphobia di negara-negara sekutu AS di Timur Tengah. Kampanye itu fokus pada dua isu yaitu, pertama menyulut perselisihan historis antara Persia dan Arab dan kedua mengangkat konflik Sunni-Syiah. Barat gencar memprovokasi masyarakat Muslim dengan menyatakan bahwa Iran adalah Syiah dan Persia, sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia Arab dan Sunni. Berdasarkan propaganda busuk ini, Iran berniat mensyiahkan Sunni atas nama agama Islam. Padahal, Revolusi Islam merupakan sebuah revolusi budaya dan pesan-pesannya diadopsi dari al-Quran dan ajaran-ajaran Nabi Saw yang menekankan pada perang melawan penindasan, menuntut keadilan, dan membangun persatuan umat.
Ekspor revolusi pada dasarnya juga menyampaikan pesan-pesan tersebut kepada Muslim dan para penuntut keadilan di dunia. Para pemimpin Revolusi Islam tidak berniat memperluas penyebaran Syiah, tapi selalu menyerukan persatuan dan dialog di antara umat Islam. Sejalan dengan itu, sejak awal kemenangan Revolusi Islam, Iran aktif menyelenggarakan berbagai konferensi yang mengundang ulama-ulama Sunni dan Syiah dari berbagai negara di Tehran. Akan tetapi, AS dan sekutu regionalnya senantiasa mendistorsi fakta-fakta Revolusi Islam dan pesan-pesan revolusi. Mereka mengkampanyekan Revolusi Islam sebagai sebuah revolusi Syiah dan berbahaya bagi negara-negara mayoritas berpenduduk Sunni.
Kebijakan AS dan sekutunya untuk memerangi pemikiran dan ideologi Syiah telah memberi nafas baru kepada kelompok Wahabi untuk membuka sekolah-sekolah mereka di Pakistan, Afghanistan, dan kemudian di negara-negara Asia Tengah. Ribuan pelajar Wahabi dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah berhasil didik dan mereka hanya dibekali satu mata pelajaran yaitu membunuh Syiah adalah jalan menuju surga! Ide gila ini pertama kali dilontarkan oleh Zbigniew Brzezinski, penasihat keamanan nasional AS pada masa presiden Jimmy Carter. Ia sendiri berangkat ke Pakistan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut.
Kelompok Taliban – dengan pola pikir ekstrim – pada pertengahan dekade 1990 berhasil mengontrol lebih dari 90 persen wilayah Afghanistan dan mengusir kaum Mujahidin dari Kabul. Keberhasilan itu diperoleh berkat bantuan dari dinas-dinas keamanan AS, Inggris, dan Pakistan. Pasca kemenangan muqawama Islam di Lebanon Selatan pada Agustus 2006, AS dan sekutunya di kawasan memperluas penyebaran pemikiran-pemikiran sesat Salafi dan Takfiri. Kemenangan Hizbullah terhadap Israel membuat AS dan rezim-rezim monarki Arab gusar. Bendera kuning Hizbullah dan poster-poster Sayid Hassan Nasrallah bertebaran di semua ibukota dan kota-kota besar di negara-negara Arab.
Kemenangan itu telah meningkatkan popularitas Hizbullah di kawasan, di mana tokoh penting Sunni Syeikh Rashid Al Ghannushi dalam sambungan telepon dengan Sekjen Hizbullah Lebanon, mengatakan, "Engkau adalah pemimpin dan imamku." Perkembangan itu membuat Menteri Luar Negeri AS saat itu, Condolezza Rice meminta pertemuan dengan pejabat keamanan dari empat negara Arab. Pemimpin dinas-dinas intelijen dan keamanan Mesir, Yordania, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab berkumpul untuk membahas cara-cara memperluas Wahabisme, menciptakan konflik sektarian Sunni-Syiah, dan meredam pengaruh Hizbullah Lebanon.
Salah satu hasil pertemuan itu adalah kesepakatan untuk menciptakan konflik sektarian. Pada masa itu, Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni mengatakan, "Satu-satunya cara yang kita miliki adalah menyulut pertikaian Sunni-Syiah di kawasan." Israel percaya bahwa satu-satunya cara untuk menjaga keamanan rezim Zionis adalah memperkeruh konflik Sunni-Syiah dan menciptakan perang sektarian di dunia Arab. Krisis di Suriah dan upaya untuk menggulingkan pemerintah Damaskus pada dasarnya merupakan kelanjutan dari usaha untuk mengadu-domba Sunni-Syiah. Menurut perspektif Wahabi, setiap Sunni yang menentang pemikiran Salafi dan Takfiri, maka darahnya halal untuk ditumpahkan.
Sumber : http://goo.gl/AwqmtH
0 komentar:
Posting Komentar