#IndonesiaTolakTakfiri - “Setelah Al Qaeda dengan bantuan AS berhasil mengusir Soviet dari
Afghanistan, maka AS berusaha menggulingkan Al Qaeda pada masa presiden
George W Bush dengan tuduhan meraka adalah “organisasi garis keras”
karena dianggap sebagai ancaman ke depan bagi AS.”
Beberapa waktu lalu serangan terhadap Al Qaeda di Yaman, termasuk peluncuran peluru kendali yang dipimpin oleh Amerika Serikat adalah rasa ketakutan AS yang berlebihan terhadap Al Qaeda. Hal ini diungkapkan oleh analis internasional dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Surwandono.
Ia mengatakan, rasa takut AS yang berlebihan membuat negara adidaya itu semakin berupaya untuk mengancurkan kekuatan kelompok yang dianggap oleh AS sebagai teroris.
“Hal itu dikarenakan kelompok tersebut merupakan penghalang bagi kepentingan-kepentingan AS di semenanjung Arab. Selain rasa takut yang berlebihan, sudah menjadi tujuan AS untuk memusnahkan Al Qaeda”, ujar Surwandono.
Ia juga mengatakan, bahwa ambisi AS untuk memusnahkan kelompok tersebut, juga karena Al Qaeda pada awalnya merupakan kelompok yang dibentuk dan didanai oleh AS untuk menghancurkan kekuatan Soviet di semenanjung Arab pada waktu itu, termasuk di Afghanistan dan Pakistan.
Karena pada waktu itu Soviet sangat dekat dengan negara-negara Arab. “Pada waktu itu, Al Qaeda merupakan boneka bagi AS untuk menghancurkan Soviet,” tandasnya.
Lebih lanjut Surwandono mengatakan, setelah Al Qaeda berhasil mengusir Soviet dari Semenanjung Arab, maka AS pun berusaha menggulingkan Al Qaeda pada masa kepemimpinan presiden George W Bush dengan tuduhan organisasi garis keras, karena dianggap sebagai ancaman ke depan bagi AS.
Sejak saat itu, setiap organisasi yang tidak terima dengan kebijakan-kebijakan luar negeri AS yang ingin menguasai semenanjung Arab, maka AS mengklaim organisasi dimanapun itu sebagai “teroris”. “Dan itu berlaku untuk semua organisasi Islam di dunia, termasuk juga yang ada di Indonesia”, pungkasnya.
Dulu Al Qaeda, Sekarang Kawan Amerika
Craig Unger, wartawan dan penulis terkenal lulusan Harvard University, pernah menulis bahwa kebijakan politik Amerika Serikat di Timur Tengah selalu berkaitan dengan dua hal: minyak dan Israel (lihat bukunya, House of Bush, House of Saud, Scribner 2004).
Artinya, semua tindak-tanduk Amerika Serikat di kawasan itu mesti terkait kepentingan negeri super-power itu akan minyak mentah atau kepentingannya untuk melindungi Israel, sekutu dekatnya sejak Perang Dunia II.
Sebagai negeri dengan ekonomi terbesar di dunia bisa dimengerti kebutuhan Amerika Serikat akan minyak mentah. Karena Timur Tengah merupakan sumber terbesar minyak dunia, wajar Amerika Serikat selalu mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu.
Tapi Israel? Ini memang agak membingungkan. Dilihat dari sudut mana pun sebenarnya Amerika Serikat tak membutuhkan Israel. Sejak perang Arab – Israel Oktober 1973, Amerika Serikat selalu membantu negara Yahudi itu sekitar 3 milyar dollar/tahun.
Bantuan terus diberikan sekali pun Amerika Serikat sendiri sedang dilanda krisis ekonomi seperti pada 2008. Tak satu negara pun di dunia yang mendapat bantuan seperti itu dari Amerika Serikat, bahkan tidak juga negara-negara Eropa yang selama ini menjadi sekutu terdekatnya.
Tak aneh kalau Israel muncul sebagai negara yang kuat secara militer dan ekonomi di Timur Tengah. Ekonominya kira-kira setara Korea Selatan. Ngototnya Amerika Serikat membela kepentingan Israel seringkali justru merugikan negara adikuasa itu terutama terkait hubungannya dengan sejumlah negara Arab.
Malah Amerika Serikat picing mata ketika Israel membangun arsenal nuklir di Dimona, Gurun Nejev, dekat perbatasan Israel – Jordania.
Itu menjadikan Israel satu-satunya negara pemilik senjata nuklir di Timur Tengah. Sementara itu Amerika Serikat terus-menerus menekan Iran hanya karena negeri itu membangun pembangkit listrik tenaga nuklir.
Dua ahli terkemuka, Profesor John J.Mersheimer dari University of Chicago, dan Profesor Stephen M. Walt dari Harvard University pernah membuat studi tentang masalah ini. Dan menurut mereka sikap Amerika Serikat terhadap Israel sama sekali tak ada hubungannya dengan kepentingan negara itu sendiri, termasuk kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat.
Kalau kenyataannya Amerika Serikat selalu mendukung Israel, menurut mereka, tak lain karena pengaruh lobi Israel, yaitu lobi dari orang-orang Israel atau orang Amerika Serikat keturunan Israel yang berada di Amerika Serikat (lihat The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy, oleh Profesor John J.Mersheimer dan Profesor Stephen M.Walt, Farrar, Straus and Giroux, 2007).
Maka sekarang pun, tatkala negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara sedang dilanda arus revolusi yang disebut Musim Semi Arab (Arab Spring), pendekatan Amerika Serikat dengan minyak dan Israel diduga tak akan banyak berubah. Sesungguhnya ‘Musim Semi Arab’ sekarang tak sesuai dengan keinginan negara adikuasa itu.
Meski tentu saja negara itu tak berusaha mencegahnya karena akan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang gencar dikampanyekan Amerika Serikat selama ini ke seluruh dunia. Betapa tidak?
Arab Spring pertama kali hinggap di Afrika Utara, Januari 2011, menumbangkan Zine El Abidine Ben Ali, Presiden Tunisia selama 23 tahun, kemudian merayap ke Mesir, menjatuhkan Presiden Hosni Mubarak yang sudah berkuasa 30 tahun dengan menggunakan undang-undang darurat.
Baik Ben Ali mau pun Hosni Mubarak dikenal sebagai teman dekat Israel dan Amerika Serikat. Jadi dilihat dari kepentingan Amerika Serikat dalam melindungi Israel, kejatuhan Zine El Abidine Ben Ali dan Hosni Mubarak adalah merugikan. Apalagi kekuatan dominan dalam perpolitikan Mesir sekarang adalah kelompok Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) yang tentu tak disukai Amerika Serikat.
Secara terbatas, gelombang Arab Spring menghempas ke berbagai negara di sekitarnya.
Di Aljazair, misalnya, gerakan protes berhasil mencabut status negara dalam keadaan darurat yang sudah berlangsung 19 tahun, atau di Jordania Raja Abdullah terpaksa memberhentikan Perdana Menteri Rivai dan kabinetnya, dan di Kuwait kabinet dibubarkan memenuhi tuntutan aksi protes.
Atau paling tidak ada janji-janji pembuatan undang-undang oleh semacam badan legislatif yang dipilih seperti dijanjikan Sultan Qaboos di Oman, atau rencana Pemilu lokal oleh pemilih lelaki September mendatang di Arab Saudi, sesuai janji Raja Abdullah.
Di Yaman dan Syria, pemerintah menghadapkan gelombang protes dengan aparat keamanan sehingga keadaan berubah menjadi aksi kekerasan. Begitu pula yang terjadi di Libya. Gelombang demo dihadapi dengan peluru.
Maka yang terjadi adalah perang saudara. Sementara itu pesawat-pesawat pengebom NATO menyerang basis kekuatan militer Libya atas nama Dewan Keamanan PBB.
Dewan Keamanan turun tangan akibat kekejaman pemimpin Libya Muammar Qaddafi dalam menghadapi para demonstran.
Padahal belakangan sesungguhnya Rezim Qaddafi telah menjalin hubungan akrab dengan Barat. The New York Times, 2 September lalu, mengabarkan bahwa pada hari itu wartawan dan aktivis LSM Human Rights Watchmenemukan dokumen di sebuah bekas kantor intelijen di Tripoli.
Dokumen itu mengungkapkan bahwa badan intelijen Amerika Serikat, CIA, dan badan intelijen Inggris, MI-6, menjalin kerja sama dengan badan intelijen Libya (Libyan Intelligence Service), setelah Libya menghentikan program pembangunan senjata-senjata non-konvensional, sejak tahun 2004.
Setidaknya diketahui dari dokumen itu bahwa CIA pernah 8 kali mengirimkan tahanan untuk diinterogasi di Libya, negeri yang selama ini dikenal sangat kejam menyiksa tahanan.
Terungkap bagaimana Libya meminta CIA menangkap Abu Abdullah al Sadiq dari Libyan Islamic Fighting Group (Kelompok Pejuang Islam Libya) yang ingin menjatuhkan Muammar Qaddafi.
CIA pun menuduh kelompok Islam itu bekerjasama dengan Al Qaeda. Peristiwa ini nanti membuktikan CIA selalu menuduh kelompok Islam yang ingin dihancurkannya terlibat Al Qaeda.
Dengan tuduhan itu, di tahun 2004, Abdullah al Sadiq ditangkap aparat keamanan Malaysia ketika sedang berkunjung ke negeri itu, bersama istrinya yang sedang hamil. Mereka lalu dikirim ke Thailand.
Di Bangkok, Sadiq menjadi tahanan CIA dan selama beberapa hari dia disiksa. Akhirnya para agen CIA mengirimkannya ke Libya.
Sejak itu selama 6 tahun Sadiq menghabiskan hari-harinya penuh penderitaan di dalam rumah penjara Abu Salim di Tripoli yang terkenal sangat ketat keamanannya dan amat kejam perlakuannya kepada para tahanan.
Di mana Sadiq sekarang? Peter Bouckaert dariHuman Rights Watch mengaku setelah mempelajari dokumen yang ditemukan tadi, tahu kalau Sadiq tak lain dari Abdel Hakim Belhaj, Panglima Militer kelompok revolusioner yang telah mengusir Qaddafi dan kini menguasai Tripoli. Artinya, dengan jabatan barunya, Belhaj menjadi sekutu NATO dan tentu juga Amerika Serikat.
Rupanya Belhaj dilepaskan dari penjara pada 2010, setelah ia bersama teman-temannya yang dituduh sebagai Islam radikal itu melakukan kompromi dengan pemerintahan Qaddafi, antara lain, mereka tak akan melakukan tindak kekerasan dalam perjuangan.
‘’Kami pegang janji itu. Maka revolusi ini pun kami mulai dengan penuh damai. Tapi rezim ini berusaha membubarkan kami dengan kekerasan,’’ kata Abdul Hakim Belhaj. Menurut The New York Time yang sudah disebut, Belhaj menjadi Panglima Militer Tripoli karena kemampuannya, selain tentu karena sikapnya yang sejak dulu anti-Qaddafi.
Dia dan teman-temannya berpengalaman berperang mengusir pasukan Uni Soviet dari Afghanistan di tahun 1980-an.
Tapi bukankah Abdul Hakim Belhaj dulu dituduh CIA bekerja sama dengan Al-Qaeda? Bukankah dia pernah ditangkap dan menjadi tahanan CIA? Baik CIA mau pun Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tak mau menjelaskan masalah itu kepada The New York Times.
Sebuah sumber di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ikut bicara tanpa disebutkan indentitasnya, bahwa pemerintahan Presiden Obama pernah menyampaikan masalah itu kepada pemerintahan transisi Libya, TNC (Transitional National Council). ‘’Beberapa bulan lalu kami dapat jaminan dari TNC bahwa semuanya berjalan baik,’’ kata sumber itu.
Agaknya yang lebih tepat adalah analisis berita The New York Times 1 September 2011 yang menyebutkan bahwa latar belakang Islamis Belhaj dan kawan-kawannya bisa dimengerti karena selama ini hanya kelompok Islamis yang mampu dan berani melawan Rezim Qaddafi yang sangat represif.
Bagi pemerintah Amerika Serikat bukan masalah harus bekerja sama dengan orang-orang yang dulu mereka tangkap dan tuduh sebagai Al-Qaeda. Soalnya Libya memiliki minyak mentah dengan produksi 1,6 juta barel/hari. Ingat apa yang dikatakan Craig Unger tentang minyak dan Israel? (Amran Nasution)
Pengakuan CIA Bahwa Al-Qaeda Adalah Rekayasa Semata
Pengakuan CIA Bahwa Al-Qaeda Adalah Rekayasa Semata
(CIA Officials Openly Admit Al-Qaeda Is a Complete Fabrication – a Made in the USA Production) Mar 3, 2009, Dalam sebuah film dokumenter pembunuh BBC berjudul “The Power of Nightmares” , pejabat tinggi CIA secara terbuka mengakui bahwa Al-Qaeda sepenuhnya merupakan rekayasa yang tidak pernah ada juntrungannya.
Pemerintahan Bush memerlukan sebuah alasan logis sesuai undang-undang sehingga mereka bisa mencari kambing hitam “orang tidak baik sesuai pilihan mereka” atau “the bad guy of their choice” , yaitu undang-undang yang telah diberlakukan dalam rangka melindungi kita dari demonstrasi dan “organisasi kriminal” seperti Mafia.
Mereka membayar Jamal al Fadlratusan ribu dolar agar membuat cerita mengenai Al-Qaeda untuk Pemerintah Amerika Serikat, sebuah “kelompok” atau organisasi kriminal yang mereka bisa kejar “menurut hukum”.
“Al Qaeda bukanlah sebuah organisasi. Al Qaeda merupakan sebuah cara kerja … tetapi hal tersebut mempunyai hallmark dalam pendekatannya.” (sumber: mypetjawa.mu.nu/archives/191417.php)
Al-Jazeera Media dan Alat Propaganda AS
Al-Jazeera merupakan Saluran Berita Arab terbesar dan yang paling kontroversial di Timur Tengah yang menawarkan berita dari seluruh dunia selama 24 jam setiap harinya dan memusatkan pemberitaannya pada wilayah konflik terpanas.
Didirikan pada tahun 1996 dan berkantor di Qatar, jaringan berita Al-Jazeera merupakan jaringan berita yang paling cepat berkembang di antara komunitas berbahasa Arab dan orang-orang yang berbahasa Arab di seluruh dunia.
Ketahuilah bahwa Al-Jazeera merupakan media propaganda utama untuk kepentingan Amerika Serikat dan keseluruhan pemrogramannya dilakukan di Amerika Serikat pada Allied Media Corp.
Setiap waktu Al-Jazeera melaporkan berita yang baru melalui video atau audio mengenai Al-Qaeda atau bin Laden yang membuat ancaman melawan Amerika Serikat.
Audio atau video tersebut sebenarnya dibuat di studio Allied Media Corp. Padahal dengan melakukan hal itu, secara esensial pemerintah Amerika Serikat membuat ancaman-ancaman untuk bangsanya sendiri.
Allied Media Corp membuatkan untuk Al Jazeera video-video ancaman teroris. (sumber: http://www.satdirectory.com)
Setiap video, setiap audio tape dari bin Laden atau hantu al-Qaeda yang membuat ancaman melawan Amerika Serikat sebenarnya dibuat di Amerika Serikat.
Studio-studio Allied Media Corp membuat video dan audio tape untuk mantan Pemerintahan Presiden Bush dalam rangka Amerika Serikat melanjutkan “Perang Melawan Teror” serta perang agresi melawan rakyatnya sendiri termasuk negara-negara berdaulat lainnya di dunia.
Paska 9/11 video tape dari bin Laden yang menurut dugaan mengakui telah melakukan serangan melawan Amerika Serikat, adalah palsu dan orangnya yang kita harus mempercayainya bahwa dia adalah bin Laden, hanyalah seorang aktor.
George W. Bush menggunakan Allied Media Corpdengan merekayasa pembuatan video dan audio tape yang dilakukan oleh para aktor yang melukiskan bin Laden serta al-Qaeda membuat ancaman melawan Amerika Serikat dalam rangka mepengaruhi serta memaksa Kongres untuk memberi Bush kekuasaan diktator serta merampok hak-hak sipil dan kemerdekaan rakyat Amerika.
Bin Laden tidak menyingkirkan kebebasan anda, Bush di Gedung Putih lah yang melakukan. Bin Laden tidak menyerang Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, Pemerintah Anda sendiri lah yang melakukannya (Inside Job).
Bin Laden tidak membuat bangkrut Amerika Serikat, Pemerintah Anda lah yang melakukannya – sepanjang sejarah semua kerajaan besar runtuh sebagai akibat pembiayaan yang sangat mahal dalam kampanye agresi.
Bin Laden tidak membunuh lebih dari 1 juta orang warganegaranya yang tidak bersalah, Pemerintah Andalah yang melakukannya – pertama dilakukan oleh Pemerintahan Clinton, kemudian pada masa Pemerintahan George W. Bush dan Dick Cheney dan sekarang masa Pemerintahan Obama.
Al Qaeda adalah dan selalu sosok yang dibuat oleh organisasi teroris Amerika Serikat. Terorisme dibuat dalam sebuah agenda politik Amerika Serikat.[]
0 komentar:
Posting Komentar